Bab 6
Hukum Taklifi, Perintah Ibadah, dan Sumber-sumbernya
A. Hukum Taklifi
Hukum Islam secara garis besar dibagi dua, yaitu:
a. Hukum Taklifi, yaitu tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan perbuatan.
b.
Hukum Wad’i, yaitu ketetapan Allah yang mengandung pengertian,
terjadinya sesuatu hukum karena ada sebab, syarat, atau penghalang.
Contoh,
karena belum balig, maka seseorang tidak wajib berpuasa ramadan. “Belum
balig” merupakan penghalang kewajiban puasa ramadan.
1. Pengertian Hukum Taklifi
Macam-macam hukum taklifi meliputi;
a. Al-Ijab, merupakan tuntutan pasti untuk dilaksanakan serta tidak boleh (dilarang) meninggalkannya.
b. An-Nadb, merupakan tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan tersebut tidak secara pasti.
c. Al-Ibahah, merupakan penetapan dari Allah swt yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak.
d. Karahah, merupakan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu perbuatan, tetapi apabila tidak dilaksanakan tidak dikenai hukuman.
e. At-Tahrim, merupakan perintah tuntuk tidak mengerjakan perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2. Kedudukan dan Fungsi Hukum Taklifi
a. Kedudukan Hukum Taklifi
Kedudukan hukum taklifi (dalam hukum Islam) merupakan ketetapan-ketetapan dari Allah itu sendiri.
b. Fungsi Hukum Taklifi
Fungsi
hukum taklifi adalah sebagai rambu-rambu bagi umat Islam mengenai
berbagai perbuatan yang boleh dan dilarang, perbuatan yang sebaiknya
ditinggalkan tetapi jika dilakukan tidak berdosa, dan lain-lain.
B. Perintah Ibadah
1. Pengertian Ibadah
Ibadah adalah segala perbuatan yang disukai serta diridai oleh Allah swt.
2. Hikmah Ibadah
a. Pendekatan diri kepada Allah
b. Menumbuhkan jiwa sosial
c. Menunjukkan syiar
d. Menunjukkan kesatuan
e. Menunjukkan persatuan derajat
C. Sumber-sumber Hukum Taklifi
Kata-kata
sumber dalam hukum Islam merupakan terjemah dari kata mashadir yang
berarti wadah ditemukannya dan ditimbanya norma hukum.
a. Al Qur’an
Al
Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara
berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat
Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat
An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan
sumber hukum Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk
berpegang teguh kepada hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar
menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT, yaitu menngikuti segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya
Al Qur’an memuat berbagai pedoman dasar bagi kehidupan umat manusia;
a.
Tuntunan yang berkaitan dengan keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg
berkaitan dengan iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar
b. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta etika kehidupan.
c. Tuntunan yang berkaitan dengan ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
d. Tuntunan yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia dalam masyarakat
Isi kandungan Al Qur’an
1. Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114 surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata
2. Segi Kualitas
Ditinjau dari segi hukum, isi pokok al-Qur’an terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
a.
Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan
rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang berkaitan dengan
keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau Ilmu Kalam
b.
Hukum yang berhubungan dengan amaliyah yang mengatur hubungan dengan
Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam Rukun
Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Fiqih
c. Hukum yang berkaitan dengan akhlak. Yakni tuntutan agar
setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku –
perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara terbagi menjadi dua kelompok:
a.
Hukum yang berkaitan dengan amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat,
haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan tuhannya.
b. Hukum yang berkaitan dengan amal
kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman
(pidana), perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan muamalah meliputi:
1. Hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan
2.
Hukum yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan
jual beli (perdagangan), gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain.
Maksud utamanya agar hak setiap orang dapat terpelihara dengan tertib
3. Hukum yang berkaitan dengan gugat menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah
4.
Hukum yang berkaitan dengan jinayat, yaitu yang berhubungan dengan
penetapan hukum atas pelanggaran pembunuhan dan kriminalitas
5. Hukum
yang berkaitan dengan hubungan antar agama, yaitu hubungan antar
kekuasan Islam dengan non-Islam sehingga tercpai kedamaian dan
kesejahteraan.
6. Hukum yang berkaitan dengan batasan pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Selain
ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang
berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan
lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut
jumlahnya banyak sekali.
b. Hadits
Hadits merupakan segala tingkah
laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
ketetapan (taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al Qur’an. Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum
dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam
haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
Artinya:
“ … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr : 7)
Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:
1.
Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil,
sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak
janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang
samar-samar yang dapat menodai kesahihan suatu hadits.
2. Hadits
Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang dapat
diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah Hadits
Shohih dan Hadits Hasan.
3. Hadits Hasan, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan
kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul
biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau
tidak terlalu penting.
4. Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan
satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits sahih atau hadits hasan.
Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits sahih
atau hasan yang tidak dipenuhi.
Adapun syarat-syarat suatu hadits dikatakan hadits yang sahih, yaitu:
1. Rawinya bersifat adil
2. Sempurna ingatan
3. Sanadnya tidak terputus
4. Hadits itu tidak berilat, dan
5. Hadits itu tidak janggal
c. Ijtihad
Ijtihad
ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah
yang tidak ada ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan
menggunkan akal pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada
cara-cara menetapkan hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad
dapat dijadikan sumber hukum yang ketiga.
Untuk melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. mengetahui isi Al Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum
2. memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits
3. mengetahui soal-soal ijma
4. menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Dalam
berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas.
Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang
muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW.
Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan.
Qiyas
(analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya
dengan kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya
terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan
minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya minuman keras ini
diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al Qur’an karena antara
keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu sama-sama memabukkan.
Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Qur’an atau
hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang
ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:
1. Dasar (dalil)
2. Masalah yang akan diqiyaskan
3. Hukum yang terdapat pada dalil
4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan
Bentuk Ijtihad yang lain
•
Istihsan/Istislah, yaitu menetapkan hukum suatu perbuatan yang tidak
dijelaskan secara konkret dalam Al Qur’an dan hadits yang didasarkan
atas kepentingan umum atau kemaslahatan umum atau untuk kepentingan
keadilan
• Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang
telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang
mengubah kedudukan dari hukum tersebut
• Istidlal, yaitu menetapkan
suatu hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara konkret dalam Al
Qur’an dan hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat
atau kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah
hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum
agama sebelum Islam bisa diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan
tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan hadits
• Maslahah
mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud syara’ yang tidak
diperoeh dari pengajaran dalil secara langsung dan jelas dari maslahah
itu. Contohnya seperti mengharuskan seorang tukang mengganti atau
membayar kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar
kesepakatan yang telah ditetapkan.
• Al ‘Urf, ialah urusan yang disepakati oleh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya
• Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
D. Pembagian Hukum dalam Islam
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
a.
Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah tersebut
dipatuhi (dikerjakan), maka yang mengerjakannya akan mendapat pahala,
jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa
b. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
c. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala
d. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala
e.
Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan.
Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau ditinggalkan.
Thanks to :
jokosiswanto77.blogspot.com